Mualaf Rusia di Chechnya Nantikan Damai

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on email
Share on weixin

Majalah UMMAT, No. 18 Thn. II – 3 Maret 1997 / 23 Syawal 1417 H

Mualaf Menanti Damai

Oleh: Mansyur Alkatiri

Seorang mualaf mantan tentara Rusia merindukan keluarga dan perdamaian

Walid adalah contoh generasi muda baru Chechnya. Umurnya masih muda, baru 20 tahun. Tubuhnya tinggi dan kurus, dan perang telah membuat otot-ototnya menjadi keras. Ia sekarang bekerja di sebuah tanah pertanian, sambil menghanyutkan diri dalam mempelajari ajaran Islam, agama yang baru dipeluknya. Ia tekun pula belajar bahasa Arab.

Seperti bangsa Chechen sendiri, Walid telah mengalami perubahan drastis dari masa lalu Soviet-nya. Dan sebuah luka tajam terus tergores di hatinya akibat perang brutal selama 21 bulan yang dikobarkan Rusia untuk memberangus kemerdekaan Chechnya. Dengan hati yang was-was Walid menanti hasil pemilihan presiden dan parlemen 27 Januari lalu.

Melihat penampilannya sekarang ini, memang banyak orang kecele karena menyangka Walid adalah orang Chechen. Padahal ia sebenarnya orang Rusia, tepatnya tentara Rusia yang melakukan desersi ke kubu pejuang Chechen dan masuk Islam.

Desersi

Tentara muda Rusia di Chechnya

Pemuda yang dulu bernama Valentin ini awalnya termasuk di antara puluhan ribu prajurit kurang berpengalaman, yang direkrut dan dikirim ke Kaukasus oleh Presiden Boris Yeltsin guna memerangi aspirasi kemerdekaan bangsa Chechen.

“Saya sebenarnya tak ingin bergabung dalam kesatuan tentara yang dikirim ke Chechnya,” katanya pada kantor berita Reuters sambil memotong kayu di tanah yang tertutup salju. “Saya tak tahu Chechnya sedikitpun.” Walid di tempatkan di kesatuan reguler Motor Rifle Regiment ke-506.

Sebelum dikirim ke Chechnya, ia tak pernah dilatih dengan tank BMP yang akan dinaikinya dalam pertempuran. Ia bahkan baru sekali menembakkan senapan mesinnya. Berada di medan perang benar-benar dirasakan bak neraka oleh anak muda ini. Dan akhirnya Walid melarikan diri dari kesatuannya 18 bulan lalu.

Usahanya untuk memperoleh kebebasan akhirnya membawa Walid ke tangan sebuah kelompok pejuang Muslim lokal di Chechnya selatan. Ia bahkan diterima menjadi anggota keluarga salah satu komandan mujahidin itu.

Banyak bekas tawanan dan desersi Rusia yang beralih ke pihak Chechnya –terutama setelah menjadi Muslim– memilih balik memerangi pasukan Rusia. Namun Walid berbeda. Ia benar-benar jera bertempur nampaknya. Ia pun menolak ambil bagian dalam perang melawan bekas kawan-kawan Rusianya.

Sudah satu setengah tahun Walid menjadi bagian dari keluarga pejuang itu. Ia menggunakan nama Muslim, berbicara dalam bahasa Chechen dan berpindah agama menjadi Muslim. Ia bahkan lebih taat dibanding anggota keluarga lainnya dan kebanyakan warga Chechen. Walid rajin belajar bahasa Arab agar bisa memahami kitab suci al-Quran lebi baik.

Rindu damai dan keluarga

Kepada Dmitry Kuznets dari Reuters, Walid juga mengungkapkan perasaannya tentang tanah air barunya serta keluarga aslinya. “Lebih enak berada disini daripada di rumah,” katanya sambil menatap indahnya pegunungan yang tampak jelas dihadapannya. Pemandangan itu jauh berbeda dengan kota industri kediaman keluarganya, di selatan pegunungan Ural.

Ia memang sangat muak dengan Angkatan Bersenjata Rusia dan amat kagum pada orang-orang di lingkungannya yang baru, yang mampu mengusir keluar tentara Rusia dari tanah air mereka. Tapi sebagai manusia biasa, Walid tetap merasa kehilangan keluarga aslinya. Walid amat rindu terutama pada ibunya. Mesti telah memutuskan untuk menjalani masa depannya di Chechnya, Walid amat berharap bisa mengunjungi ibunya. Tapi petugas-petugas militer Rusia, yang berusaha mengunci mati para desersi, secara teratur bertamu rumah ibunya, sambil terus mengintai kemungkinan pulangnya ‘Valentin’ Walid.

Selama perang Walid melihat sendiri kawan-kawan sesama prajurit muda tewas bergelimpangan. Baginya itu adalah horor. Dan kini setelah horor berlalu, hanya satu harapannya: perdamaian. Bukan hanya di dalam wilayah Chechnya saja, tapi juga dalam hubungan Chechnya dengan Rusia.

Itulah sebabnya ia memilih Aslan Maskhadov, bekas komandan AB Chechnya, dalam pemilihan presiden lalu. Ia tak mau memilih panglima pejuang garis keras, Shamil Basayev. padahal basayev ini kawan dekat keluarga baru Walid.

“Maskhadov punya ide-ide yang lebih mengarah pada perdamaian,” katanya. “Sedang Basayev lebih berorientasi perang.” Dan Walid tentu gembira kini melihat pilihannya ternyata menang.

Di bawah Maskhadov, Walid berharap Chechnya yang kini menyatakaan merdeka, bisa melakukan rekonsiliasi dengan tetangga raksasanya. Dan tentunya mulai membangun kembali ekonomi dan perdagangan dari reruntuhan akibat perang.* (MA)

BACA JUGA:
Tentara Israel Lecehkan Wanita Palestina
Ramadhan Bersimbah Darah di Xinjiang
Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal

No comments
Leave a Reply

Kategori Tulisan

Arsip Tulisan

Subscribe Untuk Mendapat Info Terbaru

Twitter Feed