Suatu hari di bulan September 1945. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta makin gencar menjadi pembicraan masyarakat Palembang. Dan di awal bulan Oktober, berkumpulah lebih dari sepuluh ribu orang Pemuda Palembang, di Lorong Ogan 16 Ilir, untuk menentukan sikap terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI. Mereka menantikan tokoh Pemuda Palembang saat itu, Mat Cik Rasyad. Namun, meski sudah ama ditunggu, sang tokoh belum juga hadir. Ribuan pemuda yang sabar menunggu pun mulai resah, gelisah.
Saat kegelisahan makin memuncak, tiba-tiba terdengar suara lantang seorang pemuda dari posisi yang lebih tinggi: “Saudara-saudara, siapa di antara saudara-saudara yang berani tampil memimpin?”
Semua tercengang menghadap ke arah pemuda itu. Tapi semua terdiam. Tak ada yang berani menjawab. Suasana pun hening. Lalu si pemuda kembali menanyakan, sampai tiga kali. dan tetap tidak ada yang menjawab. Maka akhirnya si pemuda berseru lantang, “Ini pemimpinmu! Aku pemimpinmu sekarang!”
Ucapanmu ini langsung disambut gemuruh dukungan dari ribuan pemuda yang hadir. “Setuju, setuju, setuju…!”
Anak muda berusia 27 tahun itu lalu melanjutkan, “Baiklah, sekarang saya belum minta apa-apa dari saudara-saudara! Belum meminta darah dan nyawa saudara-saudara! Akan tetapi, saya hanya meminta keringat dan kesetiaan saudara-saudara kepada pemimpinmu.”
Para pemuda itu pun kembali menyambut, “Setuju…!!!”

MADRASAH AL-IRSYAD PETOJO, BATAVIA
Siapa pemuda itu? Dia adalah Rahim Kasim, seorang ustadz di sebuah madrasah di Palembang. Ia bukan orang asli Palembang, tapi asli Betawi kelahiran Cikini. Dan, ia adalah tamatan Madrasah Al-Irsyad di Petojo, Batavia, yang dipimpin Syekh Ahmad Surkati, ulama reformis besar yang menjadi guru spiritual banyak tokoh kemerdekaan bangsa.
Mereka yang hadir dalam rapat akbar itu menamakan diri “Barisan Pelopor Republik Indonesia”, disingkat BPRI. Hari itu lalu dicatat sebagai hari resmi berdirinya BPRI. Selesai rapat akbar, ribuan pemuda itu menggelar pawai yang sangat panjang, mengelilingi kota Palembang, dengan membawa bendera Merah Putih banyak sekali sambil berteriak tak henti-henti: “Merdeka atau Mati!”
Mereka pun mulai melakukan pembersihan di jalan-jalan terhadap tentara-tentara Jepang. Siapa yang merintangi, mereka bunuh. Pawai ini berakhir di depan Masjid Agung Palembang. Selanjutnya Rahim Kasim kembali berseru: “Besok kita akan berbaris kembali dengan barisan yang lebih panjang, setuju saudara-saudara?” Dan serentak para pemuda itu menjawab: “Setujuuuuuuu!”

Berita gerakan BPRI itu membuat takut pasukan Inggris (Sekutu) yang berada di kota Palembang. Lalu mereka mengirim utusan keada ketua Cusangikai (Panitia persiapan peralihan menjadi Pemerintah Republik Indonesia), yaitu Dr. AK Gani untuk memberhentikan rencana Pawai Pemuda esok hari. Dan pasukan Inggris berjanji tidak akan mencampuri urusan kemerdekan RI. Kedatangan mereka di Palembang hanya untuk mengurus tawanan Jepang yang terdiri dari warga Inggris, Belanda, dan Australia di Palembang, yang saat itu masih dikuasai Jepang.
Markas BPRI saat itu di Jalan Tengkuruk, Palembang (ex Gedung Penjahit Koones) dan diketuai oleh Rahim Kasim sampai November 1945. Rahim meminta bantuan Mayor Bambang Utoyo (Giyugun) dan Kapten Nifa untuk melatih militer para pemuda BPRI itu. Pusat pelatihan militer saat itu di Bukit Besar Palembang. Latihan dilakukan antara Oktober hingga November 1945. Selanjutnya, Rahim Kasim menyerahkan jabatan ketua BPRI kepada Mat Cik Rasyad, ia sendiri memilih duduk sebagai sebagai ketua Biro Penerangan dan Propaganda BPRI, sesuai keahlian utamanya.
Dari Jakarta ke Palembang
Rahim Kasim lahir di Cikini, Batavia (Jakarta), pada tahun 1336 H atau 1918 M. Ia lahir dari pasangan asli Betawi, Kasim Ardiwansakerta dan Zaenab yang berasal dari Kampung Lengkong Ulama, samping BSD (Bumi Serpong Damai), yang sekarang masuk wilayah Tangerang. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya seorang perempuan bernama Umi Kulsum, dan adiknya bernama Zainuddin.
Di usia 9 atau 10 tahun, Rahim Kasim sudah menjadi yatim. Ia lalu hidup bersama kakak perempuannya di daerah Kramat, Jakarta, tidak jauh dari kediaman tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan seperti HOS Cokroaminoto, WR Supratman, H Agus Salim, Mr. Muhammad Roem, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Di masa kecilnya, ia berkawan dekat dengan Harsono dan Anwar Tjokroaminoto, anak Bapak Bangsa, HOS Tjokroaminoto. Karena suaranya bagus, ia kerap ke rumah WR Supratman untuk menghafal serta menyanyikan lagu-lagu baru ciptaannya, termasuk Indonesia Raya yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia. Bila telah hafal, ia dan teman-temannya ditugaskan untuk berkeliling di seputar Jakarta untuk menyanyikan dan mengenalkan lagu-lagu tersebut ke sekolah-sekolah Islam dan Sekolah Bumi Putra.
Ia menamatkan pendidikannya di Madrasah Al-Irsyad Petojo, Jakarta pada 1936, di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati, pendiri organisasi Islam reformis Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Di masa-masa itu pula beliau aktif di organisasi Jong Islamieten Bond (JIB), yang didirikan para mahasiswa Muslim di Jakarta. JIB memiliki sayap organisasi bernama Perhimpunan Nasional Islamieties vat Frendree (NATIFE), dan hingga tahun 1936 Rahim Kasim telah aktif sebagai Pandu Siap (pandunya Partai Syarikat Islam Indonesia – PSII).
Tahun 1937, setelah menyelesaikan sekolah di Madrasah Al-Irsyad Petojo, beliau berangkat ke Palembang, mengikuti kakak perempuannya yang menikah dengan lelaki asal Palembang. Ia lalu menjadi pengajar (ustadz) di Madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyyah Palembang.
Di samping aktivitasnya sebagai pengajar, beliau juga aktif di Pemuda Muslimin Indonesia yang merupakan sayap kepemudaan dari PSII. Selanjutnya beliau menjabat sebagai sekretaris PSII cabang Palembang, sekaligus merangkap sebagai Penerangan Propaganda PSII Sumatera Selatan hingga PSII dibubarkan oleh penjajah Jepang pada tahun 1942. Kebetulan di PSII Palembang aktif pula tiga alumni Madrasah Al-Irsyad Batavia, yaitu Anang Kiram, Haji Basri bin H. Yusuf dan Haji A. Cholik. Mereka para ulama didikan Syekh Ahmad Surkati dan pendiri Madrasah Islamiyah, yang berafiiasi ke PSII di Sekayu Palembang dan lainnya.
Rahim Kasim menikah dengan Yuliana bin Samuel Sangian, seorang mualaf yang ayahnya berasal dari Manado dan ibunya dari Muntilan, Jawa Tengah.
Aktivitas Politik dan Perjuangan Kemerdekaan
Di Palembang, aktivitas politiknya tak pernah berhenti, bersinergi dengan profesinya ebagai pendidik umat. Saat GAPPI melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut Indonesia Berparlemen, beliau juga sangat aktif dalam gerakan tersebut di Palembang.

Saat meletus perang besar mempertahankan kemerdekaan, Rahim Kasim bergabung dalam NAPINDO (Nasional Pelopor Indonesia). Ia masuk dalam pimpinan Napindo bersama Mayor tituler Ibnu Sutowo, Mat Cik Rasyad, dan Zaini Mansyur. Sedang laskarnya, Lasykar Napindo, dikomandani oleh Abi Hasan Said, Bujang Yakop dan Aziz Majid.
Dalam perang lima hari lima malam di Palembang, pada 1-5 Januari 1947, Napindo memegang peranan penting dan berada di front terdepan.
Menjelang Agresi Belanda I tanggal 21 Juli-1 Agustus 1947 markas Napindo pindah ke Lubuk Linggau.
Pada awal September 1947, nama Napindo berubah menjadi Pemuda Demokrat Indonesia di Sumatera Selatan. Pimpinan Pemuda Demokrat Indonesia dan Lasykar Napindo Sumatera Selatan saat itu antara lain: Rahim Kasim, Ibnu Sutowo, Mat Cik Rasyad, Abi Hasan Said, Aziz Madjid, Husin Ahmad, Sulaiman Efendi, Bujang Yakop, Zaini Mansyur, Nawawi Saleh, Nawawi Hasim, Sulaiman Meranjat, Saiful Lakoni.
Saat Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948, Pemuda Demokrat Indonesia Sumatera Selatan langsung ikut aktif bergerilya melawan Belanda di seluruh Sumatera Selatan, dan selanjutnya mereka berbagi tugas:
- Rahim Kasim memimpin gerilya di wilayah Lampung (Saat itu masih bagian Provinsi Sumsel).
- Nawawi Saleh memimpin gerilya di Tugumulyo Lubuk Linggau.
- Zaini Mansyur di Ogan Komering Ulu.
- Sulaiman Efendi di Curup, Lahat.
- Ibnu Sutowo dan Mat Cik Rasyad bergerilya di Tanjung Sakti, Lahat.
Pada 17 Agustus 1947, Pemuda Demokrat Indonesia (PDI) bersama GPII, HMI, Pemuda Katolik dan Persatuan Pemuda Kristen Indonesia bergabung dan membentuk Front Nasional Pemuda dalam rangka menandingi BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) yang sudah didominasi Pesindo yang beraliran komunis.
Pasca Agresi Kedua (1948-1949), Rahim Kasim dan seluruh tokoh PDI menjadi tokoh-tokoh PNI dan TNI di Sumatera Selatan dan Lampung. Rahim Kasim bahkan menjabat sebagai ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Lampung di Tanjung Karang dari tahun 1953-1964. Ia tidak meneruskan karirnya di militer, padahal saat perjuangan pangkatnya sudah overste (letnan kolonel).
Tak lama setelah perang kemerdekaan berakhir, Gubernur Sumatera Selatan (yang juga membawahi Lampung), Mohamad Isa, menemui langsung Rahim Kasim di Lampung. Ia menawarkan jabatan kepala Derah (bupati) bagi Rahim Kasim. “Saya hadir ke Lampung atas nama Republik dan atas nama negara menawarkan kepada Saudara untuk menjadi Kepala Daerah Tingkat II. Silakan untuk memilih, daerah mana yang saudara kehendaki,” kata Gubernur Mohamad Isa. Namun Rahim Kasim dengan halus menolak setelah bermusyawarah dengan istrinya.
Gubernur pun lalu berkata, “Baik kalau demikian. Tapi jangan sampai nanti di suatu hari Saudara berkata bahwa REPUBLIK tidak memperhatikan saudara.” Rahim Kasim menjawab tenang, “Baik, Pak.” Demikian seperti dituturkan oleh Syaugi Rahim, putera kedua beliau.
Di tahun 1962, Rahim Kasim diangkat Presiden Soekarno menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Di tahun 1964, Pangdam Sriwijaya Brigjen TNI Makmun Murod mengunjunginya di Lampung dan menawarkan untuk membantu pengurusan statusnya sebagai veteran kemerdekaan RI. Apalagi banyak tokoh TNI di Sumatera Selatan yang mengakui bahwa Rahim Kasim adalah salah satu pendiri TNI Sumatera Selatan. Tapi ternyata Rahim Kasim tidak mau, dan mengatakan bahwa ia berjuang dengan tulus demi kemerdekaan negeri, bukan mencari penghargaan. Ini sesuai dengan moto hidupnya: “Berfikir, berbuat, bekerja, ber-ide baik hanya karena Allah Ta’ala”.
Di masa Orde Baru, Rahim Kasim memilih berjuang di jalan dakwah dan pendidikan, seperti yang beliau rintis di awal kedatangannya ke Palembang. Ia senantiasa terlibat dalam aktivitas keumatan.
Ketika Pimpinan Pusat Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang diketuai Geys Amar SH membentuk Pimpinan Wilayah di Lampung di tahun 1986, sang ulama pejuang, Ustadz Rahim Kasim pun diangkat sebagai ketua Pimpinan Wilayah yang pertama.
Ustadz Rahim Kasim meninggal dunia di Bandar Lampung pada 9 Juli 1993, dan dimakamkan di pemakaman Segala Mider, Bandar Lampung. Ia meninggalkan seorang isteri, Yuliana bin Samuel Sangian, dan tiga orang anak, dua laki-laki (Hifni Rahim dan Syaugi Rahim) dan satu Perempuan (Violet Adiba). Sang isteri, Yuliana, Adalah seorang mualaf yang ayahnya berasal dari Manado dan ibunya dari Muntilan, Jawa Tengah. Bahkan kakak dan adik Yuliana akhirnya juga menjadi mualaf.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Ustadz Rahim Kasim, ulama dan pejuang asal Tanah Betawi yang berjuang bagi kemerdekaan negeri dan kemaslahatan umat di bumi Andalas (Sumatra). *
(MANSYUR ALKATIRI)
REFERENSI:
- Biografi Bapak Rahim Kasim (Alm), oleh H. Fathullah Pakhnong
- Buku “Sejarah Perjuangan Rakyat Musi Banyuasin (Muba) – Sumatera Selatan”
- Penjelasan dari Syaugi Rahim Kasim, anak kedua Ustadz Rahim Kasim.