Benjamin Netanyahu (kiri) dan Ehud Barak (kanan). Dua sisi mata uang yang sama

DUA SISI MATA UANG

Oleh:  Mansyur Alkatiri

Dimuat di: Harian SUARA MERDEKA, 9 Agustus 1999

mansyur-alkatiriApa beda Ehud Barak dengan Netanyahu? Di hari-hari pertama jabatannya sebagai perdana menteri Israel, Barak disambut antusias oleh para pemimpin Palestina dan Arab sebagai figur yang bisa membawa Israel dan Arab ke suasana perdamaian. Ia pun mendapat simpati besar ketika berkunjung ke Gaza, Kairo, Amman, Washington dan London. Tapi itu ternyata tak berlangsung lama. Para pemimpin Arab kembali harus menelan kekecewaan. Barak ternyata tak seluwes yang mereka kira.

“Barak dan Netanyahu itu ibarat dua sisi dari mata uang yang sama,” ungkap Faruq Kaddumi, Kepala Biro Luar Negeri PLO. Kaddumi pantas kecewa berat karena ia baru saja mulai berubah sikap, lebih melunak pada jalannya proses perdamaian setelah Barak berhasil menjadi perdana menteri menyingkirkan Netanyahu. Ia dulu keras menolak Kesepakatan Oslo antara PLO dan Israel, yang dianggapnya sangat merugikan Palestina.

Kaddumi tak sendirian. Banyak kalangan Arab kini mempertanyakan ketulusan Barak untuk perdamaian. Ataukah ia cuma sekedar beretorika demi kepentingan public relations negara Yahudi itu, yang terpuruk hebat di masa pemerintahan Benyamin Netanyahu?

Penyebab keraguan pada Barak adalah sikap pemimpin Partai Buruh ini yang tampak enggan segera mengimplementasikan kesepakatan Wye River secara penuh. Kesepakatan yang disponsori AS itu telah ditandangani oleh pemerintah Netanyahu dan pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat di Washington Oktober silam, dan telah pula diratifikasi parlemen Israel (knesset), namun kemudian tak direalisasikan oleh Netanyahu sendiri.

Palestina yang didukung Mesir menuntut Barak untuk segera melaksanakan seluruh isi kesepakatan Wye River tanpa syarat, sebagai isyarat bahwa pemerintah baru Israel itu memang punya niat baik untuk perdamaian. Tapi Barak hanya bersedia memenuhi sebagian isi kesepakatan itu, sementara sebagian lainnya, yaitu penarikan pasukan, baru bisa dilakukan berbarengan dengan perundingan status final. Padahal bagian ini merupakan inti kesepakatan.

Memang dari pihak Barak akhirnya juga tercetus kemungkinan akan mengikuti tuntutan Palestina, yaitu memenuhi seluruh ini kesepakatan Wye River. Tapi mereka juga mengancam, jika Palestina tak mau memberi konsesi seperti yang mereka tuntut, maka itu akan mempengaruhi karakter perundingan di masa depan. Ini bisa bermakna ancaman bahwa Israel akan bersikap lebih kaku dalam perundingan-perundingan berikutnya, terutama perundingan status final.

Tak Berbeda

Perjanjian Wye River menuntut Israel menarik pasukannya dari 13,1 persen wilayah pendudukan Tepi Barak, membebaskan 500 tahanan Palestina dan membuat koridor darat yang menghubungkan Gaza dan Tepi Barat, dua wilayah pendudukan yang direbut Israel pada Perang 1967 yang terpisah oleh wilayah Israel 1948.

Sebagai imbalan, pihak Otoritas Palestina menerima tuntutan Israel untuk menghilangkan bagian dari Piagam Palestina yang menyerukan penghancuran Israel. Palestina juga setuju untuk lebih keras mengawasi dan bertindak pada kelompok-kelompok Palestina yang menyerang sasaran Israel. Sebagai jaminan, Palestina menerima kehadiran petugas dari dinas intelijen Amerika CIA untuk mengawasi program “anti-terorisme”-nya itu. Dan yang lebih penting, Palestina juga setuju untuk mempercepat perundingan status final, setelah implementasi perjanjian Wye River itu.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Pemimpin Otoritas Palestina Yaser Arafat, dan Presiden AS Bill Clinton menandatangi perjanjian Wye River Memorandum di Wye River, Maryland, Amerika Serikat, 23 October 1998.

Perjanjian Wye dicapai dengan susah payah dan merupakan insiatif Washington untuk memecahkan kebekuan yang diakibatkan sikap kepala batu pemerintahan Netanyahu. Jadi sebetulnya lebih bersifat darurat, karena keengganan Netanyahu menerapkan kesepakatan Oslo II dan Taba, yang telah disepakati pemerintahan Partai Buruh sebelum Netanyahu.

Merunut jalan dan hasil perundingan itu, memang sangat logis kalau kemudian Palestina menuntut PM Ehud Barak dari Partai Buruh segera saja melaksanakan Kesepakatan Wye, yang sebetulnya juga tidak ideal bagi Palestina. Dan itu akan menjadi isyarat baik bahwa Barak memang menghendaki perdamaian. Setelah itu, Barak harus melangkah lebih cepat untuk merealisir hasil perjanjian Oslo II dan perjanjian Taba yang menjadi dasar utama proses perdamaian Israel-Palestina.

Tapi nyatanya, Barak berusaha menawarnya kembali, yaitu menunda sebagian agenda Wye River sampai perundingan status final. Inipula sebetulnya yang diinginkan Netanyahu selama akhir perundingan Wye, tapi ditentang Palestina dan Amerika. Barak juga belum pernah mengeluarkan komitmen akan mentaati dua perjanjian yang disepakati pemerintahan Partai Buruh dibawah Rabin dan Peres itu. Bahkan saat perjanjian itu diteken, sebagai salah anggota senior kabinet, Barak tak menyokong kesepakatan itu.

Lantas kalau begitu apa bedanya Barak dengan Netanyahu? Bagaimana pula gambaran umum selama ini bahwa Barak yang berasal dari Partai Buruh itu lebih pro-perdamaian dan pro-Palestina dibanding Netanyahu dan Likud?

Untuk menilai apakah kedua orang dan kedua partai itu punya agenda yang bertolak belakang tentang perdamaian dengan Arab, kita bisa melihat perilaku kedua partai semasa berkuasa di waktu-waktu lalu. Dan Paul Findley, mantan senator AS yang pernah menjadi korban lobbi zionis di negeri Paman Sam itu, berkesimpulan bahwa tak banyak bukti yang menunjukkan bahwa agenda utama Partai Buruh terhadap Arab berbeda secara fundamental dari partai Likud.

Dalam sebuah tulisannya beberapa waktu lalu di Saudi Gazette, pengamat Timur Tengah ini lebih melihat perbedaan itu hanya pada gaya bukan subtansinya. Partai Likud lebih vulgar agendanya, seperti tegas menolak berdirinya negara Palestina merdeka, menjanjikan penambahan terus permukiman baru Yahudi serta perlindungan bagi permukiman yang sudah ada, dan mengumumkan bahwa seluruh Jerusalem akan selamanya tetap menjadi ibukota eksklusif Israel. Partai Buruh nyatanya juga memiliki agenda yang sama, meski partai ini mengimplementasikannya dengan halus dan diam-diam.

Barak dan Partai Buruh mungkin saja akhirnya setuju dengan berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Tapi itu tak meliputi seluruh Tepi Barat, apalagi Jerusalem Timur. Kawasan negara baru itupun akan terkotak dalam bantustan-bantustan yang terpisah-pisah oleh jalan-jalan bebas hambatan yang didirikan semasa pemerintahan Rabin, khusus bagi para pemukim Yahudi.

Findley selanjutnya juga mengingatkan, bahwa para pemimpin Partai Buruhlah yang pertama mengorganisir pencaplokan Jerusalem Timur oleh Israel. Penambahan warga Yahudi di kota tua itu hingga melebihi warga Arab disana juga berlangsung selama masa terakhir pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Rabin. Di masa Rabin pula permukiman Yahudi bertambah subur di kawasan Arab di Jerusalem, disertai pembatasan-pembatasan kasar terhadap penduduk Palestina.

Salah satu pemukiman Yahudi di Tepi Barat, wilayah bangsa Palestina yang diduduki Israel dalam Perang 1967

Ehud Barak sendiri dikalangan Partai Buruh sebenarnya tergolong hawkish (garis keras). Latar belakangnya sebagai mantan kepala staf angkatan bersenjata, amat berpengaruh membentuk persepsinya atas Palestina.

Menurut pengamat Palestina Marwan Bishara dalam tulisannya di Jerusalem Post, Barak berada dibelakang banyak kebijakan keliru Shimon Peres, saat Barak menjadi menteri luar negeri dalam kabinet pasca Rabin itu. Dari soal pembunuhan atas Yahya “Insinyur” Ayash, ahli bom Palestina yang menyulut aksi bom bunuh diri pejuang Palestina, penutupan Tepi Barat, sampai serangan ke Libanon yang menewaskan lebih 150 warga sipil, kebanyakan wanita dan anak-anak di lubang perlindungan di kota Qana. Kebijakan itulah yang menjadikan Peres kehilangan dukungan suara dari warga Arab-Israel dalam pemilu dan akibatnya kalah dari Netanyahu.

Three Nos

Keraguan lebih dalam diutarakan oleh pengamat Palestina yang kini tinggal di AS, George S. Hishmeh. Dalam tulisannya di Jordan Times (14/7) ia berpendapat kurang tepat untuk menganggap Barak sebagai juru damai, karena Barak memegang kukuh agenda “tiga tidak” (three “nos”), yaitu: tidak mau membagi Jerusalem, tidak mau kembali pada perbatasan sebelum perang 1967, dan tak mau membongkar permukiman-permukiman Yahudi di wilayah pendudukan.

Barak bahkan tak kelihatan mau mempertimbangkan kembali perampasan tanah warga Palestina yang dilakukan para pemukim Yahudi di 42 lokasi di Tepi Barat, yang terjadi pada 3 bulan terakhir kekuasaan Netanyahu. Platform kabinet koalisi Barak tegas menolak untuk mempertimbangkan pembongkaran permukiman itu. Mereka hanya setuju untuk tak mengijinkan permukiman baru.

Ketika berkunjung ke Washington belum lama ini, Barak juga tegas-tegas menentang kembalinya hampir 4 juta pengungsi Palestina yang telah terdiaspora ke banyak negara sejak 1948, akibat aksi “pembersihan etnis” oleh bangsa Yahudi itu. Padahal Resolusi 194 Majelis Umum PBB tahun 1948, mengharuskan hal itu.

Mayoritas bangsa Palestina susah pula melupakan catatan hidup Barak yang penuh lumuran darah warga Palestina. Banyak tokoh Palestina terbunuh oleh perintah mantan Kastaf AB Israel itu.

Melihat beberapa sikap dasar Ehud Barak terhadap beberapa soal substansial diatas, rasanya optimisme bakal munculnya fajar perdamaian menyeluruh di kawasan panas itu harus ditunda dulu. Kecuali bila yang disebut “perdamaian” itu adalah termasuk tekanan keras agar Palestina “menyerahkan” hak-hak dasarnya, mengingat sekarang bangsa ini nyaris kehilangan semua posisi tawarnya. *

* Penulis adalah peneliti pada ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies)

BACA JUGA:
Irak Korban Skandal Clinton-Lewinsky
Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky – Bagian 2
Pesta Yahudi di Atas Derita Palestina

By mansyur

One thought on “Ehud Barak dan Netanyahu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *