Membongkar Kebohongan Kampanye Barat
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: Majalah UMMAT, No. 40 Thn. III, 27 April 1998
Ratusan ribu pengungsi Kristen dan Animis dari selatan Sudan di Khartoum bebas beribadah. Bukti kebohongan kampanye Barat
Perang saudara masih saja berkecamuk di Sudan selatan. Kelompok Sudan People’s Liberation Army (SPLA) pimpinan John Garang, terus saja merangsek, kendati ia sudah ditinggalkan sebagian besar kawan seperjuangannya. Milisi beranggota kaum Animis dan Kristen ini mengklaim diri sebagai alat perjuangan dua kelompok minoritas itu melawan “pemerintah fundamentalis Islam.” Namun laporan surat kabar New York Times awal bulan ini, seakan meruntuhkan klaim tersebut.
Dalam laporan dari Khartoum, harian AS itu menggambarkan suasana pengungsian lebih 1,5 juta warga Sudan selatan di ibukota Sudan itu. Para pengungsi itu melarikan diri dari medan perang di wilayah mereka, sejak 15 tahun silam. Jumlah itu terus bertambah sekitar 1000 orang perharinya.
Kebanyakan pengungsi itu tinggal di kamp-kamp pengungsi di luar kota. Komposisi penduduk Khartoum pun kini berubah. Para pengungsi dari suku Dinka, Nuer, Shilluk dan Zande, dari selatan itu kini meliputi sepertiga penduduk Khartoum.
“Migrasi ini menciptakan paradoks politik,” tulis si wartawan. “Selama 9 tahun Sudan diperintah oleh partai Islam konservatif, yang memerintah dengan prinsip-prinsip Islam secara keras. Namun, gereja-gereja di Khartoum nyatanya selalu penuh oleh kaum Nasrani di hari Minggu. Penganut Kristen pun tumbuh pesat. Tak kurang 7000 anak dibaptis oleh gereja Katolik setempat setiap Paskah.
Namun ada paradoks lain yang luput dalam tulisan di harian terkemuka AS itu. Kenapa para pengungsi itu justeru lari ke Khartoum, yang nota bene pusat pemerintahan Islam?” Lagi pula pemerintah tengah berperang dengan SPLA, yang mengklaim sebagai wakil masyarakat Kristen dan Animis. Kenapa mereka tak lari saja ke Uganda atau Ethiopia, negara pendukung SPLA yang secara geografis juga dekat? Apakah mereka tak takut terenggut kebebasan beragamanya?
Disinilah kian terbongkar kebohongan propaganda Barat untuk merusak citra Khartoum. Tuduhan palsu selalu muncul di media-media Barat, terutama disebarkan oleh Christian Solidarity International (CSI), sebuah LSM di Inggris. CSI pimpinan Caroline Fox ini banyak membantu John Garang, dan aktif menyebar tuduhan praktek diskriminasi agama, Islamisasi secara paksa dan perbudakan warga selatan oleh Muslim. Dalam laporannya, New York Times juga kentara berusaha mencari alasan untuk tetap memojokkan pemerintah Sudan.
“Penghargaan terhadap kebebasan beragama di Sudan lebih besar dibanding tempat lainnya,” kata Hassan Turabi, ketua Parlemen dan tokoh utama dibalik Islamisasi Sudan. Tak ada diskriminasi agama. Tak ada gereja di Khartoum yang ditutup atau dirusak. Ini berlainan sekali dengan nasib banyak masjid di Bosnia dan Yunani misalnya. Di Sudan, minoritas Kristen banyak yang menduduki posisi tinggi di Angkatan Bersenjata, kepolisian, korps diplomatik, dan pejabat pemerintahan, termasuk Wakil Presiden.
Tahun lalu, enam kelompok bersenjata di Sudan selatan menandatangani piagam perdamaian dengan pemerintah. Termasuk Dr. Riak Machar, ketua dan komandan faksi Sudan People Independence Movement/Army (SIIM/A). Machar adalah tokoh penting Kristen di selatan dan saingan berat John Garang.
John Garang, mantan tentara Republik Sudan, mendapat dukungan besar dari pemerintah Kristen di yaitu Ethiopia, Eritrea dan Uganda, dengan dukungan penuh Amerika Serikat dan Inggris. Menurut laporan yang pernah dibuat Washington Post, pemerintah AS setuju mengirim bantuan senjata senilai 20 juta dolar kepada tiga negara itu guna menjatuhkan pemerintah Omar Hassan al-Bashir. Bantuan itu sebagian besar jatuh ke John Garang.
Tapi apakah usaha John Garang itu didukung oleh seluruh warga Kristen Sudan? “Tidak!” tegas Angelo B. Beda, seorang tokoh Kristen dari selatan yang juga wakil ketua Parlemen Sudan. “Saya seorang Katolik,” ujarnya. “Kami tak tertarik untuk menjatuhkan pemerintah siapapun.”
Beda menyatakan itu di Washington DC, lebih setahun lalu, dalam sebuah seminar yang disponsori Schiller Institute. Ia pernah memimpin sebuah delegasi ke pegunungan Nuba di selatan, untuk menyelidiki tuduhan sejenis. “Tapi nyatanya kami tak menemukan praktek perbudakan, perkosaan, dan Islamisasi,” tegasnya. “Masalahnya adalah persaingan antar suku, dan kurangnya pembangunan.”
Namun Angelo Beda tak menutupi adanya konflik antara warga utara yang Muslim dan selatan yang Animis dan Kristen. Namun katanya, itu berasal dari zaman kolonial Inggris, yang menggunakan politik pecah belah dengan memutus total hubungan kultural antara Sudan selatan dan Sudan utara. “Sudan selatan adalah penganut paganisme dan Inggris ingin membuat mereka masuk Kristen. Setelah 5O tahun berlalu, kini Sudan selatan tetap dikuasai misionaris,” jelasnya seperti dikutip Impact.