Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT, Tahun I No. 24, 27 Mei 1996 / 9 Muharram 1416 H
India gelar pemilu di Kashmir, sebagai alat legitimasi pendudukan dan brutalitas tentaranya.
India berkeras menggelar pemilu parlemen di Jammu dan Kashmir, di tengah aksi boikot dan gangguan kekerasan. Ini pemilu pertama di wilayah bergolak tersebut, sejak meletusnya pemberontakan bersenjata rakyat muslim Kashmir pada 1989. Pemilu ini begitu penting bagi New Delhi sebagai alat legitimasi klaimnya atas kawasan yang masih dikategorikan Dewan Keamanan PBB sebagai ‘wilayah sengketa’.
Pemilu akan berlangsung dalam tiga tahap, untuk memilih 6 orang wakil wilayah Jammu dan Kashmir dalam parlemen pusat (Lok Sabha). Tahap pertama dan kedua berlangsung pada 7 dan 23 Mei di daerah Jammu dan Ladakh. Sementara di Lembah Kashmir, daerah paling panas dan paling padat penduduknya, pemilu baru dilangsungkan pada 30 Mei.
Tapi, muluskah harapan New Delhi? Di Ladakh dan sebagian Jammu mungkin saja ya. Tapi tidak di Lembah Kashmir yang 99 persen penduduknya Muslim. Mayoritas penduduk Ladakh beragama Budha, sementara di Jammu, banyak terdapat warga Hindu meskipun Muslim masih mayoritas.
Sejak awal keputusan pemilu, kelompok-kelompok perlawanan Kashmir sudah menyatakan memboikot dan akan mengganggu jalannya pemilihan. “Pengumuman pelaksanaan pemilu merupakan pernyataan perang saudara”, kata Abdul Ghani Bhat, juru bicara All Parties Hurriyat Conference (APHC). APHC adalah wadah gabungan 34 kelompok perlawanan Kashmir yang menghendaki tanah air mereka lepas dari pendudukan India.
Yang lebih menarik adalah sikap Farooq Abdullah, salah satu tokoh nasional Kashmir yang dianggap pro-India. Ia dan partai National Conference-nya ternyata turut menyatakan boikot, meski dengan alasan berbeda. “Kondisi saat ini tak memungkinkan untuk mengadakan pemilu,” katanya menunjuk pada masih bercokolnya 600.000 tentara India disana yang membangkitkan kemarahan muslimin Kashmir.
“Kashmir tak menginginkan pemilu, tapi ‘sebuah solusi permanen’,” kata Ali Shah Gilani, petinggi APHC, di depan 50.000 jamaah shalat Idul Adha, di lapangan Srinagar. Gilani yang berasal dari faksi Jamaat-e-Islami, seperti dikutip kantor berita AFP, menuntut dilakukannya plebisit, guna menentukan apakah Kashmir akan menjadi bagian India, Pakistan atau negara terpisah, sesuai resolusi DK PBB tahun 1948. Sementara Yasin Malik, ketua faksi Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF), tak kurang keras sikapnya. “Kami akan berjuang sampai orang Kashmir terakhir demi mencapai kemerdekaan.”
Para pejuang bersenjata Kashmir menyambut seruan politisi dengan caranya sendiri. Bulan lalu, dua tokoh kunci Partai Kongres-nya Narasimha Rao tewas. Ghulam Hasan Pingala, ditembak mati di Pulwana, sedang Abdul Kabir Peer tewas bersama isterinya setelah rumahnya diledakkan. Kadir Peer adalah calon anggota Lok Sabha. Tiga petinggi Kongres di Kashmir lainnya, Taj Mohiuddin, Ghulam Nabi Shah, dan Ghulam Rasool Kar berhasil lolos dari usaha pembunuhan. Mereka dianggap mengkhianati perjuangan rakyat Kashmir.
Namun aksi kekerasan yang dilakukan para pejuang bukan apa-apa bila dibandingkan dengan yang dilakukan tentara India yang menduduki lembah subur ini sejak 27 Oktober 1947. Tentara India secara rutin melakukan pembunuhan sistematis terhadap warga Kashmir pro-kemerdekaan, bahkan pada orang-orang yang mengambil jalur non-kekerasan. Contoh paling transparan terlihat dengan tewasnya Jalil Andrabi, tokoh hak-hak asasi manusia Kashmir. Mayatnya ditemukan di sungai Jehrum, akhir Maret, setelah sebelumnya di culik tentara India.
Nasib yang sama dialami Sheikh Ghulam Rasool, wartawan sebuah mingguan berbahasa Urdu. Rumah dua tokoh Kashmir, Abdul Ghani Lone dan Ali Shah Gilani dilempari granat. Keduanya menuduh pasukan India dan pengkhianat sebagai pelaku.
Pertengahan April, dalam satu serangan tentara Hindu India membantai 10 pejuang Muslim di Doda, termasuk seorang ulama setempat. “Tentara India juga menyerbu masjid di Dastgeer Sahib dan menyeret para jamaahnya dan mereka dipukuli,” tutur Syed Masood-ul-Hassan, ketua ulama kota itu pada AFP. Dalam insiden lain, Imam Masjid Pattan, 30 km utara Srinagar, mati ditembak seusai shalat Subuh.
Untuk menutupi aksi-aksi brutalnya, terutama selama pemilu, India menutup misi Palang Merah Internasional (ICRC), 19 April lalu. Konflik yang sudah memakan korban tewas 50.000 orang ini, umumnya warga sipil Muslim, agaknya bakal berlarut terus. Dengan penolakan mayoritas warganya, pemilu hanyalah alat legitimasi rezim New Delhi. (MA)
BACA SELENGKAPNYA:
Perangkap Jalan Israel
KASHMIR, Jerit Jihad di Kaki Himalaya
Islam di Polandia
[…] BACA JUGA: Boris Yeltsin Membantai Muslim Chechnya Ironi Perang Saudara di Filipina Kashmir, Pemilu untuk Siapa? […]