Xinjiang, Geliat Perlawanan Pribumi Uighur
Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Tahun II No. 1, 8 Juli 1996 / 22 Safar 1417 H
Pejuang Islam Xinjiang meningkatkan aktivitasnya. Beijing pun semakin keras bersikap
Di pagi yang dingin, di sebuah desa terpencil di Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang, sekelompok anak Uighur duduk bersila dengan tertib di sebuah mesjid. Mereka dengan tekun mempelajari isi kitab suci Alquran di bawah bimbingan seorang imam muda. Inilah pemandangan yang kini banyak dijumpai di desa-desa Xinjiang. Seakan tak peduli bahwa mereka tengah berada dalam kekuasaan pemerintahan komunis Cina yang ateis.
Penguasa Cina di wilayah yang dulu bernama Turkistan Timur ini secara resmi memang tak melarang pengajian seperti itu. Namun pengajaran tak resmi itu toh membuat Beijing ketar ketir. Kebangkitan agama, betapapun kecilnya, apalagi di wilayah jajahan seperti Xinjiang, amat mengkhawatirkan Beijing. Mereka melihat sekolah-sekolah Al-Quran itu potensial menjadi landasan separatisme di bumi tempat lebih dari separuh penduduknya yang berjumlah 16,3 juta adalah Muslim.
Beijing punya alasan untuk khawatir. Pada musim semi 1990, sekitar 50 orang tewas ketika pemerintah menumpas pemberontakan kecil yang dilancarkan Muslim Uighur di dekat kota Kashgar. Dua tahun kemudian, bom menghentak Kashgar dan ibukota propinsi, Urumqi. Bulan Juni lalu, lima pelaku pengeboman itu dieksekusi Beijing. Menurut pers lokal, orang-orang itu adalah anggota Partai Reformis Islam, yang bertekad akan “memecah belah tanah air dan mendirikan Xinjiang merdeka.”
Meningkat
Tahun ini pejuang kemerdekaan Xinjiang meningkatkan aktivitasnya. Februari lalu, mereka menewaskan tujuh orang, termasuk dua orang polisi, seorang pejabat pemerintah lokal dan seorang ulama pro-Beijing. Namun, dalam satu bentrokan senjata akhir April lalu, sembilan pejuang Uighur tewas di tangan pasukan Cina. Pemerintah komunis Cina menuduh aktifis Muslim itu merencanakan aksi pengeboman untuk mendeskreditkan mereka.
Menurut tokoh Uighur yang tinggal di pengasingan di Kazakhstan, akhir Mei lalu telah terjadi pertempuran luas di jalan-jalan Xinjiang dan menewaskan 20 orang. Cina lalu menangkap 4.700 aktifis Islam di sana.
Meski mengaku memberi kebebasan beragama bagi penduduk Muslim Xinjiang, Beijing terus membatasi aktivitas-aktivitas keagamaan penduduk di sana. Sebagaimana dilaporkan Far Eastern Economic Review, tak ada larangan untuk membangun masjid, tapi para khatib, dai dan imam haruslah terdaftar resmi di kantor pemerintah. Isi khotbah pun diatur dengan ketat. Sasaran utamanya adalah sekolah-sekolah Islam swasta, yang banyak didanai oleh negara-negara Timur Tengah. “Kita harus sungguh-sungguh menentang aktivitas keagamaan yang berlawanan dengan sistem sosialis, yang memecah belah tanah air, yang menghasut fanatisme dalam khotbah di masjid-masjid,” kata Ibrahim Rouzi, tokoh komunis lokal yang menjabat kepala Kantor Urusan Agama Xinjiang.
Meski tak ditemukan bukti pasti, pemerintah Cina curiga keterlibatan negara-negara asing dalam krisis Xinjiang. Mereka curiga, Muslim radikal dan sejumlah senjata telah masuk ke Xinjiang dari Pakistan dan Afghanistan. “Ini luberan dari perang Afghanistan,” kata Dr. Shirin Akiner, ahli masalah Asia Tengah di School of African and Oriental Studies, London University.
Cina juga mencurigai aktivitas warga Uighur di Kazakhstan. Pada April lalu, Cina menggelar pertemuan di Shanghai bersama presiden Kazakhstan, Kirgistan dan Tajikistan. Mereka sepakat meningkatkan kerjasama guna menghadapi kecenderungan militansi di antara penduduk Muslim.
Faktor utama yang mempengaruhi aktifitas separatisme Xinjiang akhir-akhir ini adalah sentimen anti bangsa China Han. Suku bangsa Muslim Uighur, penduduk asli Xinjiang, khawatir mereka akan tersingkir di tanah air sendiri. Ketika komunis menguasai China pada 1949, jumlah warga China Han di Xinjiang hanya 200.000 jiwa, atau 4 persen dari penduduk wilayah ini. Tapi sekarang jumlah warga Han disana mencapai 40 persen, bahkan mungkin telah separuhnya.
Berubahnya komposisi etnis Uighur dan Han ini umumnya disengaja oleh Beijing. Pemerintah Cina sengaja mendorong etnis Han berpindah ke wilayah kaya minyak di utara negeri ini. Mayoritas posisi pemerintahan di Xinjiang kini bahkan berada di tangan etnis Cina.
Warga Han juga menguasai kekayaan di Xinjiang. Sebagian besar perusahaan berada di tangan mereka. Cina juga menjadikan bumi Muslim ini sebagai tempat uji coba nuklir. Akibatnya, banyak bagian di Xinjiang tak bisa lagi ditempati penduduk.* (Mansyur Alkatiri)
BACA JUGA:
Islam di Kenya
Pertempuran Melanda Tajikistan
Damai Lewat Diplomasi Embargo di Afghanistan