Oleh: Mansyur Alkatiri
Majalah UMMAT Thn. I No. 06, 18 September 1995 / 22 Rabiul Akhir 1416 H
Pemerintah dan kelompok perlawanan Tajik perpanjang gencatan senjata. Persoalan besar menunggu.
Harapan baru muncul di Tajikistan. Pesiden Imomali Rakhmanov yang didukung Rusia, dan Abdullah Noori, pemimpin oposisi muslim yang tinggal di Afghanistan, telah mencapai kesepakatan bersejarah. Pertengahan Agustus lalu, mereka menandatangani persetujuan perpanjangan gencatan senjata dan prinsip-prinsip dasar bagi penyelesaian damai. Kedua pihak sepakat pula untuk mulai berunding pada 18 September 1995.
Perang Saudara di Tajikistan mulai meletus tahun 1992, antara kelompok komunis garis keras di pemerintahan, dengan oposisi yang menuntut pembaharuan politik pascakemerdekan. Pihak oposisi adalah gabungan kelompok Islam dan nasionalis-demokrat. Presiden waktu itu, Rakhmon Nabiyev, berhasil dipaksa mundur, menyusul jatuhnya ibukota Tajikistan, Dushanbe, ke tangan milisi muslim yang didominasi IRP atau Partai Kebangkitan Islam (Partiya Islamskovo Vozrozhdeniya), pada September 1992. Sejak itu, pemerintahan koalisi baru dibentuk.
Akhir tahun itu juga, pihak komunis dengan dibantu tentara Rusia dan Uzbekistan kembali merebut ibukota Dushanbe, dan menggulingkan pemerintah koalisi pimpinan Iskandarov. Tokoh-tokoh oposisi ditahan dan pasukan mereka dihalau mundur.
Perang gerilya berkepanjangan terpusat di pegunungan Pamir, propinsi Gorno-Badakhshan, di sepanjang perbatasan Afghanistan. Wilayah perbatasan ini sekarang dijaga oleh sekitar 25.000 tentara CIS, yang didominasi Rusia, guna mencegah bantuan militer dari Afghanistan.
Sejak awal, Moskow memiliki andil paling besar dalam keruwetan di Tajikistan. Karena tidak ingin kelompok “fundamentalis Islam” berkuasa, Kremlin memaksakan orang yang bisa diajak kerja sama, yaitu Imomali Rakhmanov, yang dengan bengis menghantam semua kelompok oposisi. Laporan hak asasi manusia (HAM) Deplu Amerika sampai menuduh pemerintahan Rakhmanov telah melakukan banyak pelanggararan HAM paling gawat, di antaranya “melakukan eksekusi langsung, penyanderaan, penyiksaan, perkosaan, dan perampokan.”
Dialog
Belakangan, Rusia tampaknya menemui jalan buntu di Tajikistan. Di samping itu, kondisi politik dan ekonomi Rusia yang morat-marit membuat Kremlin kesulitan. Setelah terbunuhnya 25 tentara Rusia tahun silam, sikap Moskow mulai lunak. Pada pertemuan puncak antara Moskow dan para pemimpin Asia Tengah (6-9 Agustus 94), Presiden Rusia, Boris Yeltsin, membujuk pemimpin Tajikistan agar memilih jalan damai.
“Pertama-tama kita harus lebih mementingkan dialog politik –sebuah penyelesaian politik,” kata Menteri Pertahanan Rusia, Pavel Grachev. Pernyataan ini didukung kunjungan Menlu Rusia Andrei Kozyrev ke Dushanbe, ia menekan Rakhmanov agar mau berdialog dengan pihak oposisi.
Sebelumnya, Kozyrev sudah mendapat jaminan dari mantan PM Afghanistan, Gulbuddin Hekmatyar, yang berjanji mendukung proses perdamaian di Tajikistan. Upaya ini mentah sebab pertempuran tak juga reda, dan pasukan Rusia masih terus membantu rezim Dushanbe.
Dengan kesepakatan perdamaian sekarang, tampaknya ada keseriusan untuk menghentikan pertumpahan darah yang telah menimbulkan bencana kemanusiaan dan kehancuran ekonomi ini. Namun, bagi pihak oposisi, selama pemerintah Rakhmanov tidak bersedia menerapkan konsep-konsep demokrasi, dan tentara Rusia tidak ditarik dari Tajikistan, maka sulit bagi mereka untuk seratus persen optimis dengan kesepakatan damai kali ini.
“Bila mereka tidak mundur sesuai tuntutan kami, maka kami tak punya pilihan lain selain bertindak,” kata salah seorang komandan muslim Tajik tentang pasukan Rusia. “Saya tahu kami sulit menang. Tapi mereka juga tidak akan menang. Kami akan menciptakan Afghanistan baru di sini!” (Mansyur Alkatiri/SYK)
BACA JUGA:
Imam Muslim Tentara Amerika
Kesepakatan Damai Chechnya-Rusia?
Sandiwara Damai PBB di Bosnia
[…] JUGA: Damai di Tajikistan? Imam Muslim Tentara Amerika Sandiwara Damai PBB di […]
[…] JUGA: PALESTINA, Akibat Bersekutu dengan Rabin Damai di Tajikistan? Imam Muslim Tentara […]