Oleh: Mansyur Alkatiri

Majalah UMMAT, Thn. I No. 22, 29 April 1996 / 11 Zulhijjah 1416 H

Kelompok fundamentalis Kristen menggoyang pemerintah Uganda lewat kekuatan senjata. Korban-korban pun berjatuhan.

Dusun kecil Lamo, di Uganda Utara, ludes terbakar diserang kelompok pemberontak fundamentalis Kristen, Tentara Perlawanan Tuhan (Lord’s Resistance Army = LRA), Sabtu malam (16/3). Bersenjatakan granat, senapan AK 47 dan Bibel, mereka membakar asrama sekolah dan rumah-rumah penduduk, membunuh serta melukai 4 orang, demikian laporan majalah Time (8/4).

Tiga hari kemudian, 30 anggota LRA pimpinan Joseph Kony ini menyapu desa Pabbo, 370 km utara ibukota Kampala. Serangan di fajar hari itu menewaskan 34 warga sipil. “Mereka juga menculik 58 orang warga desa Paumo, Kal-umu, Labala dan Palwong,” kata juru bicara militer Uganda pada Reuters. Para pemberontak sering menculik warga sipil sebagai sandera atau rekruitmen paksa. Beberapa hari kemudian mereka menyerbu asrama militer di Gulu dan membakar sedikitnya 90 rumah penduduk di desa di dekatnya.

Kamp pengungsi warga sipil akibat serangan kelompok fundamentalis Kristen LRA

RLA mulai menebar teror dan kematian di kawasan utara sejak 1987. Dan  sekarang konflik tersebut memasuki tahap paling brutal. Februari lalu, RLA melancarkan ofensif besar-besaran. Persenjataan mereka nampak cukup baik. Pemerintah Uganda menuduh Sudan membantu RLA. Kontan tuduhan ini ditolak Sudan, yang balik menuduh Uganda lah yang membantu pemberontak Kristen di Sudan.

Selama Maret ini saja, serangan LRA telah menewaskan 239 orang, termasuk 30 tentara. Serangan terbesar dilakukan  terhadap iring-iringan 17 kendaraan yang dikawal tentara dekat kota Gulu, pada 8 Maret, menyebabkan korban tewas sampai 130 jiwa. Ini serangan terbesar LRA sejak pembantaian terhadap 250 petani di desa Atiak, April 1995.

Nabi

Joseph Kony (30), pemimpin LRA, pernah menjadi anak altar gereja di Gulu. Ia lari ke hutan pada 1988 setelah mengaku menerima wahyu dari Tuhan. Kony memproklamirkan diri sebagai Nabi. Ia meneruskan perjuangan sepupu perempuannya, Alice Lakwena –yang juga mengaku dibimbing oleh Tuhan. Lakwena lari ke Kenya setelah gagal menjatuhkan pemerintah Presiden Yoweri Museveni di tahun 1987. Kony yang punya 34 isteri ini bertekad mengubah Uganda menjadi negara teokrasi, dan memerintah sesuai dengan 10 Perintah Kitab Suci. Tapi itu dilakukannya dengan meneror penduduk sampai mereka mau patuh padanya.

Kony dan anak buahnya banyak membunuh guru, dokter dan pegawai negeri. Ia juga menyerang warga desa yang memelihara babi dan ayam putih, yang dianggapnya inkarnasi setan. Tak diketahui persis berapa besar kekuatan Kony. Ada yang menyebut antara 400 sampai 1.500 orang. Ia menjaga kesetiaan anak buahnya dengan cara-cara brutal dan metode brainwashing (cuci otak). “Ia ahli mengendalikan pikiran,” ujar Betty Bigombe, menteri kabinet Uganda yang pernah bertemu Kony enam kali pada 1993 dan 1994.

Mereka yang berusaha melarikan diri, dibayonet sampai mati di depan umum. Setiap Jum’at pagi penghuni kamp diharuskan mengikuti doa bersama, dimana Kony dikelilingi para pengawal remaja menyampaikan pidato 4 jam dalam bahasa Latin, Arab, Inggris dan Uganda. “Ia memakai jubah dan penutup kepala warna putih, bergetar dan bernyanyi memuji Tuhan,” tutur Agnes Oroma (20) pada Time. Ia pernah diculik kelompok ini.

Sumber pemerintah menyatakan, pasukannya berhasil membunuh 167 pemberontak dan menyita ratusan senapan serbu, granat, ranjau dan kotak-kotak berisi amunisi, selama ofensif LRA Februari lalu.  

Presiden Museveni bersumpah Kony harus mati paling lambat September ini. Menurutnya, pemerintahannya telah menerima persenjataan “moderen” untuk mengakhiri perlawanan LRA. Namun banyak warga Uganda ragu, karena janji Museveni akan mengakhiri hidup Kony akhir 1995 lalu ternyata meleset.

Rwanda

Tindakan brutal RLA memang mengherankan banyak orang. Sebab mereka membantai penduduk sipil dan menghancurkan pemukiman atas nama Tuhan. Namun ternyata itu tak hanya terjadi di Uganda. Pemerintah Rwanda, diperkuat saksi-saksi mata, telah lama menuduh biarawan dan biarawati Katolik Roma turut ambil bagian dalam pembantaian di Rwanda.

Tuduhan ini telah ditanggapi secara tak langsung oleh Sri Paus Yohanes Paulus dalam sebuah pesan kepausan kepada umat Katolik Rwanda. “Gereja tak bisa bertanggung-jawab atas kesalahan-kesalahan para anggotanya yang telah bertindak berlawanan dengan hukum evangelis. Mereka akan dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan segala tindakannya,” demikian bunyi pesan tersebut seperti dikutip Reuters (20/3).* MA

BACA JUGA:
Niger, Demokrasi Setelah Kudeta
Islam di Polandia
Siapa Berkomplot Penjarakan Omar Abdel Rahman

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *